Minggu, 23 November 2014

Menentukan Upah Minimum

Dalam bulan ini, sebagian besar Pemerintah Daerah sudah mulai menetapkan besaran upah minimum bagi pekerja. Tentu saja hal ini akan menjadi sesuatu yang saling tarik menarik, yaitu antara pemberi kerja dan pekerja di perusahaan. Pekerja ingin memperoleh penghasilan maksimal, sedangkan pengusaha ingin menekan biaya pegawai. Dalam tulisan ini saya membatasi bahwa penentuan upah minimum itu adalah untuk pekerja/buruh yang memiliki kemampuan (skill) rendah, yaitu yang tidak memerlukan kemampuan atau pelatihan khusus untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan.

Di beberapa diskusi yang saya ikuti, rekan-rekan saya mengatakan bahwa persoalan ini akan dapat diselesaikan ketika persepsi bahwa tenaga kerja adalah cost diubah menjadi sebuah persepsi bahwa tenaga kerja adalah kapital. Istilah ini dalam bukunya Cohen (2005) disebut Human Capital. Semua aset dalam perusahaan, kecuali sumber daya manusia, bersifat pasif dan tidak dapat bergerak tanpa campur tangan manusia. Sumber daya pasif ini memerlukan manusia untuk dapat menghasilkan nilai. Kunci untuk menjaga keberlangsungan perusahaan agar dapat mencetak laba adalah produktivitas dari tenaga kerjanya, yaitu modal manusia (Wijanarko, 2013).

Pengeluaran untuk pengembangan sumber daya manusia merupakan salah satu hal yang sulit untuk dikapitalisasi (Damodaran, 2002: 590). Hal itu karena pengeluaran sumber daya manusia dapat tersebar ke dalam berbagai jenis laporan keuangan perusahaan dan untuk memisahkan pengeluaran dari gaji dan tunjangan karyawan adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Modal manusia bukan sekedar aset biasa, karena mengandung risiko kematian yang unik dan membawa potensi pada hilangnya pendapatan masa depan dan upah karena peristiwa kematian.

Kembali ke kasus upah minimum, misalnya persepsinya dipidah menjadi human capital, masih akan ada masalah yang mengikuti, yaitu pada proses valuasi dari human capital ini. Dalam dunia penilaian aset, cara untuk memperoleh nilai suatu benda apapun, baik yang berwujud maupun tidak berwujud ada 3, yaitu: pendekatan pasar, pendekatan pendapatan, dan pendekatan biaya.

Pendekatan pasar digunakan dengan membandingkan nilai transaksi yang terjadi di pasar untuk aset yang sejenis. Biasanya pendekatan pasar ini akan terkait dengan penawaran (supply) dan permintaan (demmand) di pasar. Mengenai tenaga kerja, apa yang saya lihat adalah permintaan tenaga kerja berkemampuan rendah jumlahnya adalah terbatas, sedangkan pencari kerja melimpah. Dalam hal ini pengusaha yang memerlukan pekerja berkemampuan rendah berada pada posisi tawar yang lebih tinggi. Boleh dikatakan, dalam benak pengusaha adalah “jika tidak mau dengan gaji segitu ya kita cari orang lain”, karena persediaan di pasar tenaga kerja masih banyak. Untung saja pekerja ini dilindungi dengan upah minimum oleh Pemerintah.

Pendekatan pendapatan biasanya digunakan untuk menilai sebuah perusahaan. Namun, dalam dunia tenaga kerja, pengusaha bisa menilai dengan memperkirakan pendapatan yang sudah atau akan diperoleh jika mengambil seorang karyawan untuk bekerja di perusahaannya.

Pendekatan biaya dalam human capital digunakan untuk menilai karyawan berdasarkan biaya yang diperlukan sampai karyawan yang dimaksud bisa bekerja sesuai dengan skill yang diharapkan. Misalnya biaya transfer/pembelian pemain (dalam perusahaan/klub olah raga), biaya pelatihan, dan biaya lain yang dikeluarkan untuk dapat memperoleh karyawan tersebut untuk siap bekerja. Pendekatan biaya juga termasuk menghitung besaran uang yang diperlukan untuk mempertahankan karyawan tersebut. Nah, mengenai persepsi cost diubah menjadi capital ini akan menjadi infinite loop di sini, karena ternyata salah satu metode untuk menilai human capital adalah dengan pendekatan biaya.

Kesimpulan saya, permasalahan upah minimum ini akan selesai ketika jumlah permintaan melebihi jumlah penawaran tenaga kerja. Perusahaan akan mempertahankan staf dengan memberi gaji yang bagus agar tidak berpindah, sedangkan karyawan akan memiliki ‘harga diri’ untuk berani berkata, “Saya resign dan pindah dari sini karena gaji di sini menurut saya terlalu kecil!” Dan di dunia pekerja dengan keterampilan rendah, hal ini belum akan terjadi, karena penawaran tenaga kerja terus melimpah. Itu saja yang dari dalam negeri, belum buruh dari luar negeri yang ingin bekerja di Indonesia.

Nah, apakah para pekerja yang sekarang ini berdemo di jalan meminta kenaikan upah minimum itu akan berani berkata seperti itu? Tentu saja bisa, asalkan mau meningkatkan skill, dengan melihat peluang pada bidang-bidang tertentu yang permintaan tenaga kerjanya masih cukup tinggi, sehingga dengan permintaan tinggi, ‘harga jual’ diri kita akan tinggi.

Selamat berjuang!

Referensi:

  • Cohen, J.A. 2005. Intangible Assets: Valuation and Economic Benefit. Willey Finance, USA.
  • Damodaran, Aswath. 2002. Investment Valuation: Tools and Techniques for Determining the Value of Any Asset. John Willey & Sons Inc., New York.
  • Wijanarko, W. 2013. Analisis Perlindungan Aset Tidak Berwujud pada Perusahaan Rintisan di Bidang Teknologi Informasi di Indonesia. MEP UGM.

Sabtu, 08 November 2014

Menginap di Bandara

Transit di bandara merupakan salah satu cara untuk menyambungkan penerbangan dari kota satu ke kota lain. Biasanya transit diperlukan jika tidak ada rute langsung yang melayani antara bandara keberangkatan dan bandara tujuan. Misalnya, saya saat ini sedang transit di Makassar karena melakukan  perjalanan dari Yogyakarta ke Jayapura. Beberapa bandara hub yang bisa menyambungkan antara Jogja dan Jayapura adalah Jakarta, Surabaya, Denpasar, dan Makassar dengan berbagai pilihan maskapai di antaranya adalah: Lion Air, Sriwijaya Air, Batik Air, dan Garuda Indonesia.

Transit biasanya akan memakan waktu antara 30 menit sampai berjam-jam. Nah, tantangan akan timbul ketika transit dilakukan lebih dari 4 jam. Beberapa rekan saya bercerita bahwa mereka memilih untuk sewa taksi lalu jalan keliling kota. Beberapa lagi memilih untuk bertahan di bandara.

Di  bandara Sultan Hasanuddin (UPG) di Maros, atau bahasa dagangnya adalah di Makassar, banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan selama transit, baik yang gratis maupun berbayar. Untuk fasilitas gratis, penumpang transit bisa memanfaatkan waktu dengan duduk di ruang tunggu atau berjalan keliling area terminal. Di siang hari ada live performance musik khas dari Sulawesi Selatan. Bagi yang badannya terasa lengket karena perjalanan panjang, tersedia fasilitas shower untuk mandi di dalam terminal. Bagi yang sudah menyisihkan uang untuk transit, di dalam bandara ada kedai kopi, restoran, executive lounge, dan juga hotel transit.

Hotel transit d'Prima by Home Inn ini terletak di dekat area keberangkatan nomor 5. Menurut informasi yang saya peroleh, tarif hotel ini dihitung untuk per 6 jam, dengan asumsi bahwa biasanya transit yang normal dilakukan tidak lebih dari 6 jam. Dengan menginap di hotel transit ini penumpang maskapai bisa istirahat di dalam kamar di area bandara tanpa terganggu privasinya.

Saya pernah sekali merasakan menginap di hotel transit ketika di Medan, namun belum pernah mencoba fasilitas hotel transit di bandara Makassar ini karena tidak transit lebih dari 4 jam. Saya juga belum pernah menggunakan fasilitas shower karena saya yakin bahwa badan masih terasa segar.

Rabu, 05 November 2014

Jogja Berhati Nyam-nyam

Saya mendengar glenak-glenik dari banyak rekan mengenai kondisi Jogja beberapa waktu terakhir ini. Selain musim kemarau panjang dan terasa gerah, banyak yang mengeluh sumur yang mereka miliki asat alias kering. Keluarga saya sendiri juga merasakan kekeringan ini sampai harus memanggil tukang sumur untuk menambah kedalaman sumur yang ada di belakang rumah kami.

Jl. Taman Siswa Yogyakarta

Permasalahan di Jogja di mata saya saat ini adalah pada masalah pangan, lingkungan hidup, tempat tinggal, transportasi, dan pendidikan. Masalahnya, semua hal tersebut saling berkaitan. Swasembada pangan memerlukan lahan yang cukup luas untuk dapat menanam bahan pangan. Masalahnya, sawah yang ada sekarang sudah bergeser menjadi banyak perumahan. Perumahan yang dibangun juga tidak tanggung-tanggung dengan memakan hampir luas tanah kavling itu menjadi bangunan. Kalaupun tidak menjadi bangunan, luas tanah yang tersisa dijadikan carport atau ditutup dengan semen atau konblok. Air susah meresap, dan tanaman besar nyaris mustahil bisa tumbuh di lapisan semen itu.

Solusinya? Saya pribadi mendukung kalau salah satu solusinya adalah membangun secara vertikal, atau dikatakan sebagai rumah susun. Kalau istilah orang berduit disebut sebagai apartemen. Mungkin banyak orang Jogja yang belum siap dengan konsep rumah susun ini, meskipun pemerintah di Yogyakarta juga sudah bertahun-tahun mencoba membangun beberapa hunian rumah susun bagi masyarakat dengan biaya sewa yang murah. Ketika ide ini digulirkan, banyak juga yang protes karena dianggap tidak ramah lingkungan. Sekarang solusinya bagaimana? Kebun di pinggiran yang masih murah dibeli lalu dijadikan perumahan? Berarti lahan akan semakin habis? Misalnya saya punya lahan kebun seluas 5000 meter persegi. Karena tidak suka bangun vertikal, saya bagi tanah 5000 meter itu menjadi kavling masing-masing 150 meter persegi dengan fasilitas untuk jalan 20 persen. Saya akan bisa membangun sekitar 26 rumah kavling dengan tipe 45/150 di tanah itu.

Jika vertikal? Misalnya saya ingin membuat tempat tinggal dengan ukuran yang sama (tipe 45), saya akan mengambil 1000 meter tapak tanah, lalu saya bangun rumah susun vertikal, misalnya 10 lantai, masing-masing lantai berisi 10 tempat tinggal dan memerlukan lebar total 450 meter persegi, separuhnya yang 550 meter adalah untuk fasilitas umum di gedung itu (lorong, mekanikal, parkir, elektrikal, dll). Maka saya akan memerlukan tanah seluar 1000 meter persegi untuk menyediakan 100 unit rumah tinggal. Sisanya yang 4000 meter tadi masih bisa ditanami pohon, dan jadi playground untuk warga yang tinggal di situ. Sebagai catatan, saya tidak tahu itungan pasnya, namun saya hanya menghitung bahwa pembangunan secara vertikal akan menghemat tapak tanah yang terpakai, sehingga tapak tanah yang nganggur ini juga bisa digunakan sebagai lahan hijau.

Ketika saya mendiskusikan ini, ada lagi yang protes jika rumah susun itu susah srawung atau bergaul. Lha yang di perumahan saja sudah bergaul. Tetapi menurut saya itu bisa diatasi jika rumah susun dibuat masing-masing memiliki teras dengan akses masuk lewat depan, bukan masuk lewat lorong di dalam, sehingga penghuni bisa tetap duduk di teras depan tempat tinggal masing-masing sambil bisa saling menyapa dengan tetangga sebelah. Selain itu saya optimis jika arsitek atau orang sipil bisa membuat bagaimana sirkulasi udara tetap segar meskipun tidak pakai AC.

Selain kebutuhan, orang Jogja juga ditantang untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Banyak keluarga yang mampu untuk membeli rumah lebih dari kebutuhannya dengan dalih investasi, sehingga banyak rumah mereka yang tidak disewakan menjadi kosong dan tidak berpenghuni. Banyak yang membeli apartemen namun tidak ditinggali. Saya rasa itu yang membuat semakin sempitnya lahan untuk perumahan.

Pemerintah juga harus tegas untuk mengatur tata ruang wilayah, mana yang boleh menjadi bangunan, dan mana yang tidak boleh. Saya yakin jika Jogja itu istimewa karena orangnya. Dengan kebutuhan tempat tinggal seiring jumlah penduduk yang semakin banyak, maka keistimewaan orang Jogja ditantang dengan kreatif memberikan solusi. Marilah kita urun rembug.