Saya mendengar glenak-glenik dari banyak rekan mengenai kondisi Jogja beberapa waktu terakhir ini. Selain musim kemarau panjang dan terasa gerah, banyak yang mengeluh sumur yang mereka miliki asat alias kering. Keluarga saya sendiri juga merasakan kekeringan ini sampai harus memanggil tukang sumur untuk menambah kedalaman sumur yang ada di belakang rumah kami.
Permasalahan di Jogja di mata saya saat ini adalah pada masalah pangan, lingkungan hidup, tempat tinggal, transportasi, dan pendidikan. Masalahnya, semua hal tersebut saling berkaitan. Swasembada pangan memerlukan lahan yang cukup luas untuk dapat menanam bahan pangan. Masalahnya, sawah yang ada sekarang sudah bergeser menjadi banyak perumahan. Perumahan yang dibangun juga tidak tanggung-tanggung dengan memakan hampir luas tanah kavling itu menjadi bangunan. Kalaupun tidak menjadi bangunan, luas tanah yang tersisa dijadikan carport atau ditutup dengan semen atau konblok. Air susah meresap, dan tanaman besar nyaris mustahil bisa tumbuh di lapisan semen itu.
Solusinya? Saya pribadi mendukung kalau salah satu solusinya adalah membangun secara vertikal, atau dikatakan sebagai rumah susun. Kalau istilah orang berduit disebut sebagai apartemen. Mungkin banyak orang Jogja yang belum siap dengan konsep rumah susun ini, meskipun pemerintah di Yogyakarta juga sudah bertahun-tahun mencoba membangun beberapa hunian rumah susun bagi masyarakat dengan biaya sewa yang murah. Ketika ide ini digulirkan, banyak juga yang protes karena dianggap tidak ramah lingkungan. Sekarang solusinya bagaimana? Kebun di pinggiran yang masih murah dibeli lalu dijadikan perumahan? Berarti lahan akan semakin habis? Misalnya saya punya lahan kebun seluas 5000 meter persegi. Karena tidak suka bangun vertikal, saya bagi tanah 5000 meter itu menjadi kavling masing-masing 150 meter persegi dengan fasilitas untuk jalan 20 persen. Saya akan bisa membangun sekitar 26 rumah kavling dengan tipe 45/150 di tanah itu.
Jika vertikal? Misalnya saya ingin membuat tempat tinggal dengan ukuran yang sama (tipe 45), saya akan mengambil 1000 meter tapak tanah, lalu saya bangun rumah susun vertikal, misalnya 10 lantai, masing-masing lantai berisi 10 tempat tinggal dan memerlukan lebar total 450 meter persegi, separuhnya yang 550 meter adalah untuk fasilitas umum di gedung itu (lorong, mekanikal, parkir, elektrikal, dll). Maka saya akan memerlukan tanah seluar 1000 meter persegi untuk menyediakan 100 unit rumah tinggal. Sisanya yang 4000 meter tadi masih bisa ditanami pohon, dan jadi playground untuk warga yang tinggal di situ. Sebagai catatan, saya tidak tahu itungan pasnya, namun saya hanya menghitung bahwa pembangunan secara vertikal akan menghemat tapak tanah yang terpakai, sehingga tapak tanah yang nganggur ini juga bisa digunakan sebagai lahan hijau.
Ketika saya mendiskusikan ini, ada lagi yang protes jika rumah susun itu susah srawung atau bergaul. Lha yang di perumahan saja sudah bergaul. Tetapi menurut saya itu bisa diatasi jika rumah susun dibuat masing-masing memiliki teras dengan akses masuk lewat depan, bukan masuk lewat lorong di dalam, sehingga penghuni bisa tetap duduk di teras depan tempat tinggal masing-masing sambil bisa saling menyapa dengan tetangga sebelah. Selain itu saya optimis jika arsitek atau orang sipil bisa membuat bagaimana sirkulasi udara tetap segar meskipun tidak pakai AC.
Selain kebutuhan, orang Jogja juga ditantang untuk membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Banyak keluarga yang mampu untuk membeli rumah lebih dari kebutuhannya dengan dalih investasi, sehingga banyak rumah mereka yang tidak disewakan menjadi kosong dan tidak berpenghuni. Banyak yang membeli apartemen namun tidak ditinggali. Saya rasa itu yang membuat semakin sempitnya lahan untuk perumahan.
Pemerintah juga harus tegas untuk mengatur tata ruang wilayah, mana yang boleh menjadi bangunan, dan mana yang tidak boleh. Saya yakin jika Jogja itu istimewa karena orangnya. Dengan kebutuhan tempat tinggal seiring jumlah penduduk yang semakin banyak, maka keistimewaan orang Jogja ditantang dengan kreatif memberikan solusi. Marilah kita urun rembug.
0 komentar:
Posting Komentar