Selasa, 16 Februari 2016

Opini Pembangunan Infrastruktur Kereta Api di Papua

Pembangunan infrastruktur kereta api di luar Jawa yang saat ini merupakan salah satu terobosan dari Presiden Joko Widodo, tak ayal menuai pro dan kontra. Pengembangan jalur kereta api di Sulawesi Selatan sudah mulai berjalan, dan nantinya akan disusul dengan rencana pembangunan sarana kereta api di Pulau Papua.

Jalur Kereta Api di Papua (Ilustrasi)

Beberapa pihak yang mendukung rencana pembangunan ini mengatakan bahwa kapan lagi kalau tidak segera dimulai dari sekarang. Beberapa pihak lain yang agak skeptis dengan pembangunan ini, mulai mencari permasalahan yang terjadi, seperti: masalah populasi yang kurang, masalah pembebasan tanah, masalah kerugian operasi, dan masalah-masalah lainnya.

Lalu, bagaimana dengan pendapat saya? Bisa babak belur kalau saya bicara teknis, karena saya juga bukan orang yang paham mengenai ilmu transportasi. Namun, sebagai masyarakat pengguna transportasi, seharusnya saya juga boleh berkomentar mengenai hal ini kan? Selain itu, dalam 10 tahun terakhir ini, separuh masa hidup saya lalui di Tanah Papua.

Saya ingat ketika mantan CEO Garuda Indonesia, Tbk. Bapak Emirsyah Satar, dalam majalah Garuda waktu meresmikan penerbangan langsung antara Makassar (UPG) dan Singapura (SIN). Hal yang terngiang di pikiran saya adalah pernyataan beliau mengenai ship follow the trade dan trade follow the ship.

Pada ship follow the trade, pembuatan jalur transportasi mengikuti perkembangan perdagangan dan mobilitas antar 2 titik. Dalam hal ini, seumpama teori ini diterapkan di Tanah Papua, maka menunggu Papua ramai dulu, baru dibuat jalur transportasi. Pada trade follow the ship, jalur dibuat dulu agar perdagangan antar kedua titik menjadi ramai.

Hal yang membuat beberapa orang pesimis adalah, volume pergerakan orang di Papua masih tergolong kecil. Namun perlu diingat, pembangunan jalur kereta di Jawa pada jaman Belanda dulu sebenarnya juga hampir sama. Saya yakin bahwa waktu itu orang yang naik kereta tidak banyak, dan ada kemungkinan perusahaan kereta api jaman Hindia Belanda juga mengoperasikan dengan rugi.

Lalu, bagaimana cara menutupi kerugiannya? Dengan menjadikan transportasi berbasis rel untuk mengangkut barang atau komoditas. Ciri-cirinya adalah, jalur rel kereta waktu itu (jaman Belanda) kebanyakan menuju ke perkebunan dan pabrik yang terhubung sampai ke pelabuhan.

Banyak produk dari Papua yang sebenarnya potensial untuk dijual, namun karena keterbatasan akses transportasi, maka mengalami kesulitan untuk dibawa ke pelabuhan terdekat, baik karena medan yang sulit, ditambah lagi biaya pengiriman antar daerah di dalam wilayah Papua yang mahal. Pada saat saya menulis ini, harga tiket dari Jayapura (DJJ) ke Jogja (JOG) dengan Lion Air di Bulan Februari 2016 rata-rata adalah Rp. 1.500.000,- (harga normal adalah 2,2-2,7 juta rupiah). Tiket dari Jayapura (DJJ) ke Mulia, Puncak Jaya (LII) adalah 3 jutaan rupiah.

Menurut saya, biaya ship follow the trade jatuhnya akan lebih mahal, karena begitu suatu daerah menjadi ramai, maka pembebasan lahan akan semakin sulit dan mahal. Mendingan jalur kereta api segera dibangun, dan nanti arus orang dan barang akan mengikuti perkembangan. Akan lebih bagus lagi apabila proses pembuatan jalur kereta api adalah dengan padat karya dan gotong royong, yang melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat di jalur yang dilewati kereta api tersebut. Selain menambah kesejahteraan masyarakat, akan tercipta rasa kebanggaan dan rasa memiliki. Bayangkan, dalam waktu 25-50 tahun yang akan datang, ketika kereta itu lewat, maka akan ada yang berbicara dengan bangga, "Itu jalur rel kereta dulu tete (kakek) yang ikut bangun.."

Oke, intinya saya adalah orang yang mendukung agar jalur kereta api ini segera direalisasikan. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?