Sabtu, 23 Maret 2013

Kekuatan Sebuah Asumsi Publik

Dalam sebuah komunitas masyarakat, biasanya akan muncul asumsi-asumsi yang akan membawa pemikiran seseorang dalam komunitas itu menjadi ikut mempercayai dan melaksanakan asumsi tersebut.

Para penjual produk kosmetik di Asia Tenggara kebanyakan menjual melalui pendekatan persuasif, dengan menampilkan bahwa wanita yang cantik adalah orang dengan tubuh yang langsing dan kulit yang putih bersih, dan pria yang tampan adalah yang berbadan kekar dan berhidung mancung. Namun di sebagian Afrika, asumsi yang berkembang adalah, wanita yang cantik adalah yang betubuh besar, karena di Afrika wanita gemuk dianggap sehat, memiliki makanan yang baik, dan pria yang gemuk dianggap berkecukupan. Istri yang gemuk juga merupakan pertanda bahwa sang suami memperhatikan wanita itu.

Di sebagian besar wilayah di dunia, kematian membawa suatu kesedihan yang mendalam. Sedangkan di beberapa tempat, termasuk di sebagian Indonesia, kematian merupakan kegembiraan besar, karena yang meinggal sudah pergi ke alam yang lebih baik, sehingga masyarakat merayakan kematian ini ke dalam suatu pesta yang besar dan meriah.

Tidak ada yang salah dengan asumsi-asumsi tersebut. Namun, kadang pengetahuan mengenai asumsi tersebut diejawantahkan ke dalam dua kubu, yaitu "benar" dan "salah", sehingga memunculkan adanya pertentangan satu dengan yang lain. Ketika kita tidak melakukan asumsi itu, kita bisa dicap bersalah. Parahnya, kadang hal ini sering dimanfaatkan oleh orang untuk mencari keuntungan pribadi. Misalnya, dalam dunia berpolitik, membuat seseorang menjadi benar atau salah di mata masyarakat melalui media massa sering dilakukan untuk mencapai suatu tujuan kekuasaan.

Dalam dunia ekonomi, asumsi bisa digunakan untuk menjual suatu produk dengan keras, dan juga bisa digunakan untuk menjatuhkan kompetitor. Misalnya saja, asumsi cantik putih tadi membuat orang berbondong-bondong ke salon kecantikan berbiaya mahal dan melakukan operasi yang mahal agar dapat terlihat langsing.

Dalam dunia penegakan hukum di Indonesia, yang saya lihat adalah bahwa jika seseorang menjadi tersangka itu sudah dicap bersalah, meskipun pada akhirnya tidak terbukti bersalah. Bahkan, tidak terbukti bersalah pun bisa memunculkan asumsi bahwa ketika menjadi tersangka dia mungkin berkonspirasi dengan aparat penegak hukum. Padahal, belum tentu juga hal itu terjadi, namun karena sudah ada asumsi tersebut, sebagian besar masyarakat akan menilai hal itu ke arah yang tidak baik.

Dalam tatanan sosial budaya, orang di dalam suatu masyarakat yang tidak melakukan adat kebiasaan suku bisa dianggap bersalah, dan kadang membuat seseorang dikucilkan.

Asumsi publik adalah alat yang bisa menyejahterakan, namun juga bisa menjadi senjata yang sangat mematikan. Berhati-hatilah menggunakannya!