Dari perjalanan beberapa hari ini ada beberapa yang saya tangkap terkait dengan penerimaan dan belanja daerah. Dari sisi belanja, sebagian besar Pemerintah Daerah telah membuat regulasi agar terjadi pengurangan transaksi tunai dalam proses belanja pemerintah. Semua proses belanja diusahakan melalui transfer ke rekening bank, agar penerima uang dapat memperoleh pembayaran secara akurat dan tercatat ke dalam sistem bank.
Nah, di sisi sebaliknya Pemerintah Daerah mencoba menggenjot pendapatan daerah melalui pembayaran non tunai. Ada beberapa keuntungan jika pembayaran dilakukan secara non tunai.
Untuk pembayaran pajak atau retribusi
Masyarakat mudah membayar kewajiban pajak tanpa harus datang ke loket pelayanan, cukup menggunakan kode bayar dan mentransfer melalui kanal pembayaran yang paling mduah dijangkau (transfer ATM, internet banking, mobile banking, dan pembayaran elektronik lainnya)
Untuk layanan barang dan jasa
Layanan barang dan jasa ini adalah layanan yang diberikan wajib pajak kepada masyarakat, misalnya: hotel, restoran, parkir, reklame, dan jasa lain yang menyebabkan adanya kewajiban pajak yang harus dipungut dan disetor oleh penyedia layanan. Dengan tansaksi non tunai, Pemerintah Daerah dapat mengawasi secara akurat transaksi pendapatan daerah yang sudah diterima oleh wajib pajak, sehingga dapat menentukan jumlah pajak yang harus dibayar secara akurat. Selama ini pembayaran pajak daerah seperti hotel dan restoran menggunakan self assesment, sehingga menimbulkan kemungkinan adanya pelaporan kewajiban pajak yang tidak sesuai. Jika Pemerintah Daerah menyediakan alat untuk tapping transaksi wajib pajak, tentu akan memerlukan investasi teknologi dan peralatan yang tidak sedikit.
Tantangan Regulasi dalam Elektronifikasi Transaksi
Kalau bicara teknologi pasti tidak ada habisnya, namun kita mau kembali lagi kepada regulasi. Ketika Pemerintah Daerah ingin melakukan elektronifikasi transaksi, maka akan ada banyak aturan yang harus ditaati seperti berikut (urutan tidak mencerminkan prioritas).
- Peraturan Bank Indonesia
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
- Peraturan terkait Pemerintahan Daerah dan Pengelolaan Keuangan Daerah
- Peraturan terkait Sistem Pemerintahan berbasis Elektronik (SPBE)
- PCI Council (terkait pembayaran dengan kartu)
- Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah setempat
Peran Bank Pembangunan Daerah (BPD)
Adanya disrupsi layanan keuangan konvensional karena munculnya Fintech membuat BPD berada pada posisi sulit. Layanan e-money, e-wallet, P2P lending, dan layanan digital lain di tingkat nasional bisa menekan bisnis Bank Umum secara signifikan. Pada akhirnya, Bank Umum khususnya BUMN akan menekan ke ranah bisnis BPD, yang sudah nyaman mengelola dana kelolaan Pemerintah Daerah. Banyak BUMN yang masuk ke daerah untuk mendapat kue pengelolaan dana APBD. Sementara itu dari bawah, BPD mendapat tekanan dari BPR yang mampu bergerak lebih lincah di kalangan masyarakat tingkat bawah dan menengah.
Tantangan berikutnya adalah jika BPD menjadi biller pajak daerah. BPD harus memiliki sistem pembayaran, di mana transaksi tersebut tentu saja akan menimbulkan biaya baik dari sisi CAPEX maupun OPEX BPD. Hasil dari menyimpan dana kelolaan belum tentu akan bisa menutupi layanan yang diberikan. Biasanya, bank akan mencari penghasilan dalam bentuk fee-based income.
1. Merchant Discount Rate (MDR)
MDR ini tidak diperkenankan dalam proses pembayaran pajak daerah, karena tidak ada satu rupiah pun yang boleh berkurang dari uang yang dibayarkan oleh wajib pajak kepada Pemerintah, sehingga BPD tidak diperkenankan mengambil fee apapun.
2. Fee On Top
Di sini, biller menagih biaya transaksi kepada pembayar pajak, misalnya pajak atau retribusi Rp100.000,00 yang dibayar melalui bank dengan biaya Rp2.500,00 per transaksi, maka total yang dibayarkan oleh wajib pajak adalah Rp.102.500,00. Namun, jika tanpa dasar regulasi yang memadahi, hal ini juga akan menjadi masalah, selain juga akan menyebabkan wajib pajak enggan membayar.
Dalam hal ini, BPD bisa mencari cara untuk memperoleh penghasilan tambahan dari layanan pembayaran non tunai ini. Misal, BPD memberikan kredit kepada wajib pajak yang memiliki transaksi bisnis yang bagus, sehingga memperoleh pendapatan dalam bentuk bunga, atau memberikan layanan tambahan lain yang menambah pendapatan BPD tanpa membebani wajib pajak secara langsung dalam proses pembayaran. Pendapatan tambahan ini yang bisa digunakan untuk menutupi layanan pembayaran pajak dan retribusi non tunai.
"Loophole" Regulasi
Inovasi yang terjadi di dunia keuangan paling sering mendahului regulasi. Untuk orang yang "nekat", mereka akan melakukan suatu kebijakan meskipun secara regulasi belum ada. Misalnya, banyak layanan fintech yang tetap menjalankan bisnisnya, meskipun belum ada regulasi terkait dengan bisnis yang mereka jalankan tersebut. Namun, ada juga inovasi yang mengikuti regulasi yang ada. Terkait inovasi layanan Pemerintah, memang sebaiknya harus mengikuti rambu-rambu yang ada, namun jika ada aksi yang bersifat ragu-ragu, misalnya karena tumpang tindih peraturan, bisa duduk bersama dengan stakeholder untuk memastikan bahwa semua regulasi dalam inovasi tersebut komplian.
Sebelumnya saya pikir ini akan menjadi perjalanan studi banding biasa, namun setelah menjalaninya, ternyata saya menemukan banyak hal yang tidak terduga yang menjadi concern dalam pengembangan Teknologi Informasi, khususnya dalam mendukung Pemerintah Daerah menggenjot pendapatan asli daerah dan juga menjaga agar transaksi pendapatan dan belanja dapat dipertanggungjawabkan dengan benar. Semoga hasil perjalanan ini dapat segera kami eksekusi menjadi inovasi.
0 komentar:
Posting Komentar