Minggu, 18 November 2018

Refleksi Kondisi Bisnis Akhir Tahun 2018

"Budgets are tight, governments around the world are looking to add new regulations, public trust in business is low, and employees are tempted to cut corners."
Itu adalah kutipan yang saya baca di sebuah halaman advertorial di Jurnal ISACA volume 5 tahun 2018. Entah tulisan itu menggambarkan sesuatu yang sedang terjadi, atau hanya manggambarkan sesuatu yang dirasakan oleh pembuat tulisan terkait dengan kondisi kehidupannya pada akhir-akhir ini. Atau, penulis kutipan tersebut hanya menakut-nakuti agar pembaca ikut kuatir, lalu mengikuti program yang ditawarkan. Namanya juga iklan.

Jika menilik dari kutipan tersebut, ada beberapa pihak yang terkait. Pertama adalah sisi kondisi keuangan, lalu pemerintah, masyarakat umum, dan para pegawai. Hal ini menempatkan kita berada pada posisi pemilik sebuah bisnis, di mana bisnis ini menghadapi tantangan baik dari sisi regulasi, maupun dari sisi internal di dalam bisnis kita.

Kalau saya menilik kondisi bisnis dari waktu ke waktu, saya pikir masalah yang diungkap dalam kutipan tersebut sudah terjadi sejak awal peradaban. Anggaran tidak selalu berwujud uang, dan bisa disamakan dengan sumber daya yang dimiliki. Pemerintah bisa disamakan dengan pihak yang kuat yang memiliki kekuasaan untuk mengatur kita, kepercayaan publik bisa digambarkan sebagai orang lain yang berada di luar bisnis kita, sedangkan pegawai bisa digambarkan sebagai 'pasukan internal' yang menyokong pelaksanaan aktivitas kita. Yang membedakan dari masa ke masa hanya pada pelaku yang berbeda dan sumber daya yang berbeda dengan aturan main dan istilah yang tidak sama dengan generasi sebelumnya. Namun, semua itu merujuk kepada entitas, yaitu orang sebagai pelaku dalam lingkungan bisnis.

Ketika kata pertama yang diungkapkab adalah kata 'budget', sudah terlihat bahwa pembuat kutipan ingin mengarahkan bisnis berjalan sesuai dengan anggaran yang ada. Anggarannya sekian, dan akhirnya harus dipilah-pilah untuk memenuhi kebutuhan yang ada. Hal ini malah menjadikan bahwa anggaran akan menghasilkan produk berupa daftar belanja (shopping list). Padahal, dalam kaitan dengan kinerja, sebaiknya entitas bisnis harus membuat indikator yang ingin dicapai terlebih dahulu, lalu membahas aturan main, dan menyusun daftar sumber daya (manusia maupun peralatan), lalu anggaran berada pada hal yang terakhir dibahas.

Dengan membuat target indikator, maka akan muncul sebuah paradigma agar tujuan yang diinginkan dapat tercapai, sehingga memotivasi untuk dapat lebih kreatif dalam mencari cara menemukan sumber daya yang cukup untuk mencapai tujuan tersebut, termasuk di antaranya adalah anggaran untuk mencapai suatu keinginan. Cara yang dimaksud juga termasuk meyakinkan pemerintah untuk mau menyusun dan melaksanakan regulasi yang mampu untuk memuluskan jalan kita mencapai keinginan yang dimaksud.

Faktanya, dalam skala pengukuran yang lebih besar, keinginan tidak akan pernah bisa terpenuhi, karena jumlah solusi yang tersedia bersifat terbatas, sedangkan keinginan tidak bertepi. Untuk mempertemukan hal itu, maka perlu disusun indikator kebutuhan (bukan keinginan). Karena kebutuhan memiliki batasan, lalu dikalibrasi dengan berbagai macam kemungkinan terhadap solusi yang tersedia.

0 komentar:

Posting Komentar