Selasa, 06 November 2018

Quo Vadis Pendidikan di Pegunungan Tengah Papua?

Dalam kunjungan ke Tolikara dan Lanny Jaya, kami sempat mengunjungi SDN Negeri Karubaga dan SMP Negeri 1 Tiom untuk melihat bagaimana pendidikan dasar dilaksanakan dan dikelola oleh Pemerintah Daerah. Saat ini, secara regulasi, SD dan SMP berada di bawah manajemen Pemerintah Kabupaten/Kota dan dikelola oleh Dinas Pendidikan setempat.


Ketika kami tiba di SD Negeri Karubaga, siswa yang bersekolah di sini cukup majemuk, dengan berbagai anak dari berbagai suku, yang mencari ilmu untuk masa depan mereka. Hanya saja, terjadi suatu kondisi yang tidak merata, di mana banyak anak yang sudah hampir sampai kelas 6 masih mengalami buta huruf. Mereka sama sekali belum bisa membaca. Selain itu, banyak sekali siswa yang tidak masuk sekolah.

Beberapa alasan yang dikemukakan adalah siswa tinggal puluhan kilometer dari sekolah dengan kondisi akses sulit dengan gunung yang tinggi. Ada juga siswa yang tidak melaporkan diri dan ternyata masuk ke sekolah yang lain. Bahkan, ada kejadian di mana anak ini di SD Negeri Karubaga tercatat masih berada di kelas 4, tiba-tiba dilaporkan sudah masuk SMP karena mengikuti ujian di sekolah lain. Ada juga yang tidak berani masuk ke sekolah karena ekses dari pilkada yang menimbulkan konflik yang cukup berkepanjangan antara penduduk yang mendukung masing-masing peserta kontestasi pilkada.

Kepala sekolah SD Negeri Karubaga sempat membuat program dengan memisahkan anak yang buta huruf ke dalam kelas yang terpisah, dan secara intensif diajari sampai bisa membaca sendiri. Namun, program ini tidak dilanjutkan, karena setelah anak-anak ini sudah bisa membaca, mereka pindah ke sekolah yang lain. Kondisi yang mirip juga terjadi si SMP Negeri 1 Tiom, banyak sekali siswa yang tidak masuk sekolah, sehingga guru menggabung kelas A dan B ke dalam 1 kelas karena kurangnya murid yang masuk ke sekolah.

Kekacauan ini menyebabkan DAPODIK yang dilaporkan ke Pemerintah Pusat menjadi tidak akurat, dengan kondisi banyak data yang ganda. Ketidakakuratan ini juga mengakibatkan dana BOS yang masuk ke sekolah berpotensi untuk tidak dapat dimanfaatkan sebagaimana mestinya, sehingga tidak menimbulkan dampak yang signifikan bagi proses pendidikan di daerah tersebut. Ini adalah gambaran yang cukup memprihatinkan mengingat sekolah ini berada di ibukota kabupaten yang secara fasilitas cukup lengkap. Kami belum bisa membayangkan bagaimana kondisi sekolah di Distrik dan Kampung yang aksesnya jauh lebih sulit.

Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan mulai mendata penduduk dengan menggunakan biometrik. Adanya KTP elektronik ternyata cukup membantu. Dengan melakukan pindai sidik jari dan mata, maka orang-orang yang sengaja berpindah dari kabupaten satu ke kabupaten lain dapat terdeteksi, sehingga kegandaan data dapat dicegah. Dengan data kependudukan yang akurat, maka data di dunia pendidikan juga bisa tertolong untuk menjadi lebih akurat, sehingga proses pendidikan di daerah dapat terlaksana dengan baik dan program, kegiatan, maupun dana yang dikucurkan dapat tepat sasaran, dikarenakan indikator berupa jumlah dan persebaran siswa dapat dideteksi.



Bagaimana dengan ekses adat? Saya menemukan bahwa ketidakakuratan data menyebabkan banyak anak yang berganti nama. Mengapa demikian? Ternyata ada juga anak yang datanya tidak masuk ke DAPODIK, dan ketika mau ikut ujian SD menjadi bermasalah. Pihak sekolah kemudian ada yang membuat jalan pintas dengan mengikutkan ujian anak tersebut dengan menggunakan data nama siswa yang sudah ada, dengan nama dan marga yang sama sekali tidak berhubungan dengan nama dan marga anak tersebut. Hal ini akan mengakibatkan kekacauan dari sisi budaya, karena bisa terjadi anak sekolah menggunakan nama dari suku lain, sehingga pemetaan data antropologi budaya menjadi ikut tidak akurat.

Hal lain yang diperlukan adalah dengan selalu memberikan kesadaran kepada masyarakat setempat bahwa sekolah sangat penting. Ada satu hal yang menarik ketika kami menanyakan kepada salah beberapa murid yang berjalan kaki berkilo-kilo meter dari sekolah apakah sudah sarapan. Mereka menjawab belum. Padahal, sarapan cukup penting bagi anak sekolah. Bisa juga sekolah memprogramkan sarapan bergizi setiap pagi bagi para murid, untuk menghindari ketimpangan gizi, dan juga memotivasi siswa untuk mau masuk ke sekolah.

Saya menyatakan hormat dan salut kepada para guru yang telah mengabdikan dirinya untuk pendidikan anak-anak di pedalaman Papua. Dengan keterbatasan yang ada, saya melihat bahwa di masa depan, banyak calon pemimpin di Tanah Papua yang lahir dan memperoleh ilmu dari perjuangan para guru di pedalaman. Karena saya yakin, orang hebat dihasilkan dari suatu perjuangan dengan keadaan yang sulit, bukan dari suatu keadaan yang mudah.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Di Papua wilayah gunung pada umumnya sama ,anak anak sekolah sering jd korban akibat pilkada langsung,lbh baik kembalikan ke DPRDuntuk pilkasa agar lebih aman,nyaman waktu dan biaya semuanya hemat dan gampang terkontrol

Posting Komentar