Pagi hari tadi (05/07) saya bersama keluarga pulang kampung ke rumah orang tua saya di Kulon Progo. Selain karena hari Sabtu tidak banyak kegiatan, kami memang sudah merencanakannya sejak beberapa hari sebelumnya. Nah, di situ saya berdiskusi dengan rekan yang kebetulan datang ke rumah, sebut saja namanya Polan (bukan nama sebenar). Kami diskusi panjang lebar, sampai akhirnya membahas mengenai pemilihan presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 Juli 2014 nanti. Terjadilah diskusi (sebenarnya dalam bahasa Jawa) kurang lebih seperti berikut ini.
Saya: “Gimana, besok ini pemilihan presiden mau memilih siapa?”
Polan: “Masih belum tahu ini. Menurut Mas Wahyu, besok yang menang siapa ya?”
Saya: “Di beberapa survey sih katanya diperkirakan Jokowi akan menang.. Ada juga yang bilang Prabowo akan menang. Emang gimana?”
Polan: “Ya, ini rekan-rekan saya mendukung Jokowi, namun ini ragu, nanti kalau kalah gimana ya, apa kita nggak runyam?”
Saya: “Runyam bagaimana? Kita ini kan wong cilik, dari dulu presidennya gonta-ganti yang Kang Polan masih saja tetap bekerja menambang pasir di Kali Progo kan? Emangnya presiden itu nanti bisa menambah jumlah pasir di kali?!”
Polan: “Iya sih, tapi kan kita maunya milih yang tidak kalah..”
Saya: “Lha, memilih itu kan sesuai dengan hati nurani, bukan nebak siapa yang menang lalu ikut-ikutan di situ..”
Memang selama sebulan terakhir, perdebatan mengenai calon presiden di berbagai media cukup keras, sehingga menimbulkan munculnya 2 kubu yang saling serang dengan keras, dan akhirnya menjadikan dukungan kepada masing-masing calon menjadi tidak rasional. Bahkan, saking tidak rasionalnya, para kandidat ini ada yang menyamakan dengan tokoh-tokoh Nabi di masa lalu.
Kalau dari apa yang saya lihat dari Kang Polan ini, dia tidak memihak kepada salah satu calon, namun dia masih ingin melihat kandidat siapa yang berpotensi menang, lalu dia akan memilih kandidat tersebut. Bagi Kang Polan, kepuasan batinnya bukan pada pilihan kandidat yang menurut dia baik, namun pada kandidat yang menurut dia akan menang, sehingga kalau yang dia pilih itu menang, maka dia akan ada kepuasan tersendiri, terlepas dia melihat kandidat itu baik atau tidak. Pada akhirnya, saya melihat juga banyak pemilih yang mengidolakan kandidat presiden seperti klub sepakbola. Bukan karena tim itu main bagus, namun yang penting cari yang ramai. Semakin ramai semakin banyak yang gabung menjadi penggemar.
Ada yang menyebut bahwa mereka ini juga termasuk swing voter, sehingga lembaga survey banyak memanipulasi hasil survey agar para pemilih yang ragu ini berpindah haluan ke kandidat yang menurut survey akan menang. Dari berbagai survey sejak jaman pemilihan legislatif, baru kali ini saya melihat survey pemilihan presiden tidak seragam, dan cenderung berat ke kandidat yang didukung oleh para ‘surveyor’ tersebut. Saya yakin bahwa survey ini sedikit banyak akan mengarahkan para pemilih yang masih galau, untuk memberikan suaranya kepada pilihan kandidat yang sudah ditentukan.
Dan saya pun belum mengaku kepada Kang Polan bahwa saya juga sebenarnya swing voter. Saya baru akan menentukan siapa yang saya pilih di bilik suara hari Rabu nanti.
Memang, menurut sumber yang tidak dikenal, di dunia ini hanya ada 3 macam kebohongan: bohong, bohong besar, dan statistik.
0 komentar:
Posting Komentar