Ketika saya harus keluar masuk ke daerah pedalaman di Papua, yang minim fasilitas, dengan segalanya yang serba terbatas, saya bertemu banyak orang, yang tentu saja memiliki definisi yang berbeda-beda mengenai hidup yang ingin dijalani. Ada yang bahagia ketika bisa menonton televisi bersama-sama, bisa makan ubi bersama-sama, lalu Minggu ke gereja bekumpul dan menyanyi dengan wajah riangnya. Ada juga yang masam karena tidak kebagian dana OTSUS (lho?). Kembali ke kota, melihat banyak orang sudah punya fasilitas yang lebih lengkap, namun tetap memiliki muka yang masam karena dihantui oleh terlalu ketatnya persaingan dalam menjalani hidup.
Yang aku pikirkan bahwa tujuan semua orang adalah sama, yaitu mencari kebahagiaan. Banyak yang sudah di jalan menuju ke sana bahkan telah berada di genggaman, tetapi tetap merasa tidak bahagia, karena kurang bersyukur.
Kunci hidup menurutku adalah bukan pada apa yang kita punya, tetapi bagaimana kita memiliki posisi dalam melihat apa yang kita terima. Kekayaan yang paling hakiki adalah ketika kita mampu membawa posisi ke dalam filosofi "sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Kekayaan dan keberhasilan seharusnya tidak diukur dari harta maupun posisi yang kita miliki sekarang.
Kekayaan sejati adalah bagaimana kita bisa menempatkan hati kita untuk mensyukuri apa yang kita terima. Bagiku, kebahagiaan sejati itu adalah pada saat mensyukuri proses mengejar kebahagiaan itu, bukan pada hasil akhirnya.
2 komentar:
komen dulu baru baca,,.
komen juga baru ikut baca ah
Posting Komentar