Minggu, 08 November 2020
Cara Mengatasi Mesin Diesel Dong Feng Masuk Angin tidak Mau Menyala
Kamis, 29 Oktober 2020
Paradoks Sumpah Pemuda: Sebuah Pengandaian di Tahun 2020
Kongres Pemuda II diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928. Terjadi kurang lebih 1 dekade sesudah terjadinya pademi flu Spanyol. Sehingga protokol pertemuan sudah tidak relevan dengan wabah yang terjadi lama. Saya pastinya tidak akan meragukan semangat para pendahulu kita yang waktu itu masih pemuda dalam mengobarkan semangat juang.
Saya kemudian tergelitik membayangkan apabila ada kongres mengatasnamakan pemuda yang dijalankan di tahun 2020 ini oleh orang-orang yang berbeda dengan semangat yang berbeda pula. Pertama, panitia pastinya sudah mempersiapkan kegiatan ini jauh hari sebelumnya, tidak hanya awal tahun, tetapi bisa tahun sebelumnya. Atau karena kebiasaan procrastination, malah bisa jadi baru persiapan sebulan atau seminggu sebelumnya.
Jika kemungkinan Kongres Pemuda II di tahun 1928 dilaksanakan dengan patungan biaya di antara pemuda, lain halnya dengan tahun 2020. Para pemuda kemungkinan akan mencari sumber dana melalui biaya kontribusi acara dari peserta, mencari sponsor swasta, kemudian tidak lupa juga mengajukan proposal ke Pemerintah. Panitia nasional mengajukan ke Kementerian Pemuda, peserta di daerah memperoleh bantuan sosial/hibah dari APBD untuk keperluan tiket, uang saku dan biaya kontribusi.
Rencana susunan acara kurang lebih seperti ini.
26 Oktober 2020
14.00 - 18.00: checkin dan registrasi peserta
19.00 - 21.00: pembukaan dan makan malam
27 Oktober 2020
08.00 - 17.00: kongres hari ke-1
28 Oktober 2020
08.00 - 16.00: kongres hari ke-2
16.00 - 17.00: penutupan
29 Oktober 2020
08.00 - 12.00: checkout dan kembali ke daerah masing-masing
Saya tidak akan membahas sampai detail mengenai jam coffee break maupun waktu ISHOMA.
Rupanya, awal tahun 2020 terjadi pandemi COVID-19 yang menyebabkan kegiatan pertemuan harus dilakukan secara terbatas dengan protokol ketat. Hal ini menimbulkan kegaduhan dan tarik ulur di antara pemuda yang akan menjadi peserta. Ada yang minta untuk ditunda karena alasan protokol kesehatan, ada yang minta tetap untuk dilaksanakan. Akhirnya, yang disepakati adalah kegiatan ini tetap dilaksanakan.
Alasannya sepele, kalau tidak dilaksanakan, nanti tahun 2021 tidak akan diberikan bantuan hibah oleh Pemerintah, karena dianggap tidak mampu menyerap anggaran tahun 2020. Selain itu, uang muka yang dibayarkan ke hotel tidak dapat ditarik kembali alias hangus apabila tidak dipergunakan. Pertemuan kemudian disepakati akan dilakukan secara offline di Jakarta, namun bagi peserta yang tidak bisa hadir, bisa bergabung melalui Zoom dan mengikuti streaming di Youtube.
Akhirnya, hari yang dinanti itu pun tiba. Para peserta datang tanggal 26, masuk ke penginapan, dilakukan seremonial pembukaan oleh Menteri Kepemudaan melalui Zoom. Tanggal 27, disepakati bahwa kongres cukup dilaksanakan 1 hari, tanggal 28 peserta bisa jalan-jalan di Jakarta, belanja oleh-oleh untuk dibawa ke daerah masing-masing. Kesimpulan kongres sudah diumumkan tanggal 27, tetapi karena menyangkut pertanggungjawaban penggunaan dana, maka surat kesepakatan bersama ini dibuat tertanggal 28.
Yang tidak diketahui, beberapa peserta merupakan anggota intelijen yang menyamar, karena ada indikasi dan kecurigaan di dalam kongres ini terdapat upaya makar. Namun, peserta yang tadinya besemangat dan bergelora dengan idealismenya, menjadi adem dan tenang setelah uang transport dibagikan,
Demikianlah imajinasi saya. Itulah mengapa saya menulis ini bukan di tanggal 28, namun di tanggal 29, yaitu ketika para peserta imajiner itu sudah pulang, sebagian peserta dari luar Jawa rupanya ada yang melanjutkan jalan-jalan ke Bandung dan Jogja karena long weekend.
Apa yang ada di imajinasi Anda?
Minggu, 04 Oktober 2020
Sebuah Usulan Solusi Padamnya Api Abadi Mrapen
Beberapa hari terakhir muncul pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa api abadi di Mrapen padam sudah lebih dari seminggu. Dalam benak saya, saya membayangkan kejadian imajiner seperti ini.
"Wah, kok genine mati. Ono korek ra?" kata salah seorang petugas.
Dengan berbekal korek, petugas berupaya untuk menyalakan kembali api abadi itu, namun apa daya bahan bakarnya telah habis. Tidak ada bau gas sama sekali!
Dalam pikiran saya, api abadi Mrapen tidak seabadi itu. Konon, kalau iseng, kalau pas apinya kecil, ditiup juga mati, lalu bisa dinyalakan lagi dengan korek. Ini dari salah satu klaim cerita teman saya yang sekitar 17 tahun lalu pernah mematikan api abadi Mrapen tersebuh sehabis kunjungan dinas ke Pemda Grobogan. Menurut yang disampaikan ke saya saat itu, dia iseng meniup. Eh, malah mati. Panik! Untung bisa dinyalain kembali dengan korek, entah korek siapa.
Sayangnya, kejadian kali ini adalah matinya terlalu lama, berhari-hari, sehingga akan menjadi sulit untuk ditutup-tutupi. Dan, meledaklah pemberitaan di media. Mungkin juga kejadian padamnya api abadi tersebut sering terjadi, hanya saja tidak ada yang berani membicarakan di medsos. Dan sudah mulai muncul artikel-artikel membahas hal gaib mengenai "pertanda".
Berhubung saya orang Teknik, saya gak mau membahas hal gaib tersebut, tetapi tergelitik untuk mencoba membuat simulasi "api abadi". Asumsi yang akan saya gunakan adalah dengan menggunakan bahan bakar LPG dengan tabel konversi sebagai berikut.
Sabtu, 01 Agustus 2020
Hidup Terlalu Singkat Untuk Mengalami Semuanya
Nah, yang sering jadi persoalan adalah ketika kita ingin memberikan masukan terhadap sesuatu, lalu diberikan pertanyaan dengan, kalimat kurang lebih seperti, "Kamu seharusnya jangan ikut komentar begitu, memangnya kamu sudah pernah mengalami hal begini atau begitu?"
Manusia memiliki kemampuan yang disebut dengan belajar sosial / vicarious learning, di mana kita bisa melakukan observasi dengan mengamati apa yang dialami orang lain. Nah bagaimana belajar sosial ini bisa terjadi? Manusia juga merupakan makhluk simbolik yang mampu untuk menterjemahkan sesuatu ke dalam simbol-simbol tertentu, seperti gambar, suara, gerakan dan lainnya. Dengan melihat, membaca, mendengar apa yang dialami orang lain, kita sedikit atau banyak akan memiliki bela rasa, sehingga secara pikiran dapat ikut merasakan apa yang dirasakan dari pengalaman orang lain itu.
Hanya saja, sebaiknya kemampuan seperti ini jangan dieksploitasi secara ekstrim, karena pengalaman dari belajar sosial yang sangat kuat, kadang bisa menyebabkan kita melebur dan menjadi imitasi dari peran yang dibagikan, baik secara sadar maupun di bawah sadar. Yang bisa berakibat buruk adalah ketika kita terseret ke dalam sesuatu pemikiran yang tidak baik, yang merugikan, baik bagi kita maupun bagi orang lain.
Ketika saya melihat sesuatu yang menyenangkan yang dialami orang lain, kadang muncul pertanyaan, "kok saya tidak bsia mengalami hal seperti itu ya?" Di sisi lain, ketika kita melihat suatu kemalangan yang dialami orang lain, kadang juga muncuk pertayaan, "Apakah dalam hidup saya ini, suatu saat saya juga harus mengalami hal seperti itu?"
Jangan takut kehilangan sesuatu karena adanya sebagian besar hal yang tidak bisa kita alami dalam hidup kita. Tetap berani untuk mengeksplorasi lingkungan sekitar kita, untuk melihat apa yang bisa dialami tanpa harus mengalami secara langsung.
Kamis, 19 Maret 2020
Kamu itu Punya Literasi Rendah!
Di dunia yang banjir informasi seperti sekarang, orang harus pintar menentukan mana yang benar-benar merupakan informasi, mana yang merupakan derau (noise). Pada akhirnya, banyak yang akan terjebak dengan tuduhan 'rendahnya literasi', padahal kemungkinan besar belum tentu demikian.
Menurut artikel di Forbes, rata-rata orang dewasa memiliki kecepatan membaca adalah 300 kata per menit. Misal membaca 20 artikel sehari dengan panjangnya 500 kata, maka kita akan akan menghabiskan 33 menit sehari untuk membaca. Sedangkan, kegiatan kita selama 24 jam kan tidak hanya membaca. Ada tidur, mandi, bekerja, dan aktivitas lainnya.
Dengan adanya media pesan instan (Whatsapp, Telegram, dll), serta media sosial (FB, Twitter, Instagram) yang langsung masuk ke handphone kita, maka sadar atau tidak kita akan dijejali informasi yang berlebihan. Pada akhirnya, kemampuan kita memilah informasi sangat dibutuhkan di sini.
Parahnya, banyak rekan saya yang suka memforward informasi, dan ketika informasi itu salah, yang ada adalah klarifikasi dan minta maaf. Untung saja, dari informasi rekan0rekan saya ini tidak mengakibatkan adanya efek hukum terhadap informasi tersebut.
1. Jangan forward informasi apapun kalau hanya membaca judul
Judul dengan isi kadang berbeda, tetntu saja untuk menarik perhatian. Bahkan, isi saja bisa beda dengan kenyataan kalau kita tidak melakukan croscheck dengan referensi yang benar. Dengan forward informasi yang tidak jelas, maka Anda hanya akan membuat noise baru yang akan membingungkan lebih banyak orang.
2. Memiliki jaringan penelaah yang bisa dipercaya
Oke, kan kita tidak bisa menyerap semua informasi. Paling bagus adalah kita memiliki jaringan pertemanan dengan orang-orang yang memiliki kehalian di bidangnya. Sehingga, ketika ada informasi tertentu, kita bisa crosscheck kebenaran informasi tersebut secara akurat, sehingga kita dapat memiliki informasi yang tidaj bertele-tele secara cepat dan tepat.
3. Melakukan blacklist terhadap sumber berita yang tidak valid
Ketika kita membaca suatu berita, dari surat kabar, media online, atau media lainnya, maka kita lama-lama akan mengetahui mana saja yang kebanyakan bohong, dan mana saja yang cenderung memberitakan sesuatu dengan tepat. Saya biasanya akan menghindari informasi yang berasal dari media abal-abal karena lebih banyak clickbait daripada berita yang benar. Meskipun tidak menutup kemungkinan kadang-kadang media mainstreamjuga melakukan hal yang serupa, namun hal itu cukup mengurangi kita dalam terpapar misinformasi.
4. Perbanyak baca buku yang bermanfaat
Buku-buku juga banyak yang merupakan noise, agar lebih pintar paling bagus baca jurnal atau literatur ilmiah yang memiliki referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Kalau tujuannya untuk hiburan, buku cerita fiksi bagus untuk dibaca, karena sejak awal sebelum membaca, kita sendiri sudah tahu bahwa itu fiksi belaka, sehingga tidak akan tercampur antara fiksi dan kenyataan.
Referensi:
Kamis, 27 Februari 2020
Menghadapi Virus Corona COVID-19
Pertama, yang saya pahami virus ini bisa menyebar dari manusia satu ke manusia lain dan sebagian menyebabkan kematian dengan prosentase yang cukup besar dibandingkan dengan flu. Kedua, sampai saat ini belum ada vaksin yang sesuai untuk menanggulangi virus ini. Ketiga, sudah ada pasien yang dinyatakan sembuh. Keempat, udara kemungkinan besar bisa menjadi media persebaran virus ini.
Langkah pemerintah China dan pemerintah negara lain yang melakukan isolasi kota-kota tertentu adalah untuk memperlambat persebaran virus ini, sampai bisa ditemukan obatnya. Memperlambat, namun diyakini bahwa lambat atau cepat, virus ini akan tersebar ke seluruh dunia. Saya termasuk yang mempercayai hipotesa bahwa satu orang dengan orang yang lain di seluruh dunia ini saling berteman dengan maksimal 7 level. Kemungkinan besar juga pernah saling bersalaman dengan tingkat yang cukup dekat. Misal saya pernah salaman dengan A, A salaman dengan B, lalu B salaman dengan C. Jadi, antara saya dan bersalaman C di tingkat 3. Belum lagi kalau A pernah salaman dengan C, berarti hanya di tingkat 2 saja. Sehingga bisa disimulasikan persebarannya. Belum lagi kondisi virus ini masih sulit terdeteksi, apalagi jika sedang dorman.
Penyemprotan disinfektan sepertinya juga bersifat mengurangi, bukan meniadakan. Saya pernah menyemprotkan obat nyamuk di ruangan dengan jumlah semprotan cukup banyak. Satu jam kemudian, saya masuk ke ruangan itu, rupanya masih ada 1 atau 2 nyamuk berkeliaran. Sepertinya nyamuk ini sempat berada di tempat tersembunyi yang tidak terjangkau oleh obat nyamuk yang saya semprotkan ini. Kalau dipikir, nyamuk ini adalah hewan yang terlihat mata, tidak seperti virus yang kita tidak tahu tanpa menggunakan mikroskop yang canggih.
Semoga kita semua diberikan kekebalan tubuh yang bagus untuk bisa menangkal virus ini, dan segera ditemukan obatnya.