Kamis, 14 Agustus 2025

Moral Luck: Saat Keberuntungan Mengatur Hidup dan Moral Kita

Sore ini, saya duduk dan membiarkan pikiran mengembara, membentuk sebuah cerita yang tidak pernah terjadi tapi terasa begitu nyata di kepala saya. Dalam cerita itu ada dua orang yang memutuskan pulang dengan mengemudi setelah minum terlalu banyak. Mereka menempuh jalan yang berbeda namun dengan niat dan tindakan yang sama. Yang pertama tiba di rumah dengan selamat. Yang kedua menabrak seorang anak dan hidupnya runtuh seketika.

Saya membayangkan bagaimana dunia akan menilai mereka. Satu dianggap beruntung, satu lagi dikutuk sebagai pembunuh. Padahal, kalau ditarik ke asalnya, mereka sama-sama bersalah dan sama-sama ceroboh. Bedanya hanya hasil akhir yang merupakan sesuatu yang di luar kendali mereka.

Dari sinilah saya mulai merenung. Selama ini kita diajari bahwa kita sepenuhnya bertanggung jawab atas siapa diri kita dan apa yang kita lakukan. Tetapi, filsuf Thomas Nagel dan Bernard Williams pernah menantang pandangan ini dengan konsep yang mereka sebut moral luck atau keberuntungan moral. Mereka mengungkapkan bahwa penilaian moral terhadap seseorang sering kali ditentukan oleh hal-hal yang berada di luar kendali orang itu.

Nagel membaginya menjadi beberapa bentuk. Ada resultant luck, keberuntungan atau ketidakberuntungan pada hasil tindakan kita, seperti dua orang yang sama-sama mabuk itu. Ada circumstantial luck, keberuntungan dalam situasi yang kita hadapi, di mana kita mungkin terlihat baik hanya karena belum pernah berada di bawah godaan atau tekanan ekstrem. Ada constitutive luck, keberuntungan dalam hal siapa kita, termasuk sifat, temperamen, dan kecenderungan bawaan yang terbentuk dari genetik, pola asuh, dan pengalaman masa kecil yang tidak kita pilih. Dan ada causal luck, keberuntungan yang tersembunyi dalam rantai sebab-akibat panjang yang membentuk setiap keputusan kita.

Bernard Williams menekankan sisi lain, yaitu bahwa keberuntungan moral membuat penilaian kita terhadap diri sendiri juga menjadi rapuh. Kita bisa merasa hebat atau hancur bukan hanya karena apa yang kita lakukan, tapi karena di mana kita berdiri dalam arus kebetulan yang tidak pernah kita rancang.

Semakin saya memikirkan ini, semakin saya sadar bahwa siapa saya hari ini adalah perpaduan antara usaha pribadi dan keberuntungan yang berpihak. Suatu “kebaikan” di dalam diri yang saya kira murni, dan pilihan-pilihan yang saya banggakan, semuanya berdiri di atas pondasi kebetulan yang mungkin saja tidak saya sadari. Begitu pula, kegagalan dan kesalahan orang lain tidak sepenuhnya lahir dari kemauan buruk mereka sendiri.

Kesadaran ini membuat belajar untuk tidak cepat menghakimi, dan lebih mau mengakui bahwa sebagian besar hidup ini adalah hasil dari jalan yang dibuka oleh keberuntungan, atau bisa tertutup karenanya. Sebelum saya merasa benar, saya perlu bertanya, apakah saya benar-benar baik atau hanya belum diuji? Apakah saya kuat atau hanya tidak mengalami hal itu?

Dan mungkin, dengan menyadari betapa besar peran keberuntungan moral, kita bisa membangun dunia yang sedikit lebih penuh empati. Dunia di mana kita menghargai usaha, tapi juga memahami batas kendali manusia. Dunia di mana kita tidak hanya menilai dari hasil, tapi juga mengingat bahwa semua orang sedang berjalan di atas papan tipis yang bisa saja patah kapan saja tanpa peringatan.

Jumat, 28 Maret 2025

Guru Bukan Lagi Pengawas, Tapi Pelatih Kritis di Era AI

Di era digital ini, penggunaan AI seperti ChatGPT oleh siswa untuk menyelesaikan tugas sudah bukan hal asing lagi. Mulai dari membuat esai, meringkas buku, hingga menulis makalah, semua bisa dilakukan dalam hitungan detik. Sebagai tenaga pendidik atau orang tua, reaksi spontan kita biasanya adalah: "Bagaimana cara mendeteksi ini? Jangan-jangan ini bukan hasil kerja mereka sendiri."

Namun, deteksi demi deteksi ternyata bukan solusi jangka panjang. Alat deteksi AI tidak akurat, bahkan bisa merugikan siswa yang menulis sendiri tugasnya. OpenAI sendiri sudah menarik alat deteksi buatan mereka karena dianggap tidak efektif.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan? Jawabannya: beradaptasi dan naik level!

Kita sudah punya contoh dari masa lalu. Ketika kalkulator diperkenalkan, kita tidak menghentikan pelajaran matematika. Sebaliknya, kita justru memperdalam konsep, menerapkan logika, dan menyelesaikan masalah nyata. Karena kalkulasi dasar sudah bisa dilakukan mesin, maka peran manusia jadi lebih tinggi nilainya.

Dengan AI, kita bisa lakukan hal serupa. Bayangkan jika siswa diminta menggunakan AI untuk membuat esai di rumah. Tapi di kelas, mereka ditantang untuk mengkritisi hasil AI itu, memperbaikinya, atau bahkan menulis argumen tandingannya. Tugas tidak lagi berfokus pada produk akhir, tapi pada proses berpikir. Di sinilah nilai tambah manusia, yaitu intuisi, empati, sudut pandang, dan pemahaman konteks, menjadi kunci dalam proses pembelajaran.

Guru pun bergeser peran. Dari pemberi tugas, menjadi fasilitator diskusi. Dari penilai hasil akhir, menjadi pembimbing dalam proses berpikir.

Alih-alih bermain detektif, mari kita mulai membekali siswa dengan pertanyaan-pertanyaan reflektif:

  • “Kenapa kamu memilih sudut pandang ini?”
  • “Apa yang bisa kamu ubah dari jawaban yang dibantu AI ini?”
  • “Apa konsekuensi dari argumen yang kamu bangun?”

AI bisa membantu menyusun kalimat. Tapi makna dan nilai dari kalimat itu tetap tanggung jawab manusia. Sudah saatnya pendidikan tidak lagi curiga, tapi justru bersahabat dengan teknologi. Dengan mengubah cara kita memandang AI dalam pendidikan, kita tidak hanya menghindari jebakan sebagai "polisi tugas," tetapi juga menyiapkan siswa menghadapi masa depan yang sesungguhnya: masa depan di mana AI adalah bagian dari keseharian kerja dan hidup mereka.

Saatnya kita berhenti bermain "whack-a-mole" dengan teknologi. Mari kita mendidik dengan bijak, bukan mencurigai tanpa henti.