Rabu, 24 April 2019

Antara Sisa Sate dan Framing Politik

Ketika saya pulang ke rumah agak malam, anak-anak rupanya sudah membeli seporsi sate untuk lauk makan malam. Sate ini berisi 10 tusuk, dan ketika saya sudah tiba di meja makan, tersisa 1 tusuk sate. Entah kenapa tidak ada yang mau menyentuh sate terakhir itu.


Kejadian ini bukan satu-satunya yang saya alami. Di kantor atau di manapun, ketika ada sepiring kue atau gorengan, dan semua orang mengambil, maka selalu tersisa 1 potong kue di piring itu, dan tidak ada yang berani mengambil. Padahal, ketika piring itu masih penuh, hanya dalam hitungan detik saja hampir ludes diambil. Tidak habis sama sekali, ya karena masih tersisa sepotong.

Bayangkan kalau hal ini terjadi di dunia politik. Siapapun yang memakan sate terakhir itu akan segera menjadi bahan serangan dari lawan politik. Framing yang mungkin akan dibuat adalah bahwa orang yang memakan sate terakhir itulah yang menghabiskan sate, padahal cuma makan satu. Yang lainnya, mungkin sudah makan 2-3 tusuk, tetapi tertutupi oleh "penghakiman" terhadap orang yang memakan sate terakhir tersebut.

Dan di rumah, sayalah yang memakan sate terakhir itu. Untung di rumah tidak ada lawan politik, karena begitu sate habis, piring pun langsung menuju ke dapur untuk dicuci bersih, dan kami semua tidur nyenyak dengan sate yang dicerna di dalam perut masing-masing dan dijadwalkan esok hari untuk dikeluarkan sisanya di jamban.