Kamis, 05 Oktober 2006

The Power of Thinking Without Thinking

Bagaimana kita bisa membaca pikiran seseorang dari apa yang tampak di wajahnya? Bagaimana kita bisa mengetahui masa depan atau mungkin keretakan rumah tangga dari 3 menit pertama dari diskusi debat yang dilakukan oleh pasangan suami istri? Bagaimana kita bisa mengetahui sifat seseorang dari apa yang tampak di kamarnya? Bagaimana kita bisa mengetahui kualitas seorang musisi dari 3 detik pertama musiknya? Bagaimana kita bisa mendiagnosa seseorang terkena serangan jantung atau tidak dengan sedikit data signifikan?

Terkadang kita berpikir bahwa kalau kita memiliki data-data yang banyak, kita bisa mengeluarkan keputusan yang tepat berdasarkan data tersebut. Namun kadang hal tersebut akan menjadi bumerang, apabila terdapat kontradikisi pada data-data yang kita miliki. Misal data A menyatakan X, sedangkan data B menyatakan Y, dan X dan Y bersifat saling menentang, maka yang akan muncul adalah kebingungan (sulit pitik). Yang perlu dilakukan adalah dengan mereduksi data-data yang kita miliki, sehingga data-data yang signifikan saja yang digunakan, sementara data-data lain dihilangkan saja karena bisa mengganggu penilaian.

Malcolm Gladwell mengulasnya dalam buku "Blink: Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir" terbitan tahun 2005 mengeluarkan istilah "thin slicing" atau cuplikan tipis, dimana kita bisa mengetahui sesuatu atau melakukan suatu tindakan yang tepat berdasarkan data yang kita peroleh dalam waktu yang singkat. Dipaparkan bahwa sedikit data yang signifikan lebih baik daripada terlalu banyak data yang bisa mengakibatkan kekacauan dalam pengambilan keputusan. Metode ini bisa dikatakan dapat berhasil secara memuaskan dalam banyak hal yang dicontohkan dalam buku ini.
Namun demikian suatu metode tentu saja memiliki kelemahan. Kelemahan dari metode ini adalah jika seseorang melakukan penilaian secara subyektif, karena apa yang tampak oleh mata kadang seseorang terkadang bisa menipu. Thin slicing baru bisa dilakukan apabila hal-hal yang bersifat subyektif dapat dihindari. Sebagai contoh subyektif, yaitu apabila saya tidak menyukai seseorang atau warna tertentu, dan saya sedang menjadi juri dalam lomba menyanyi, maka apabila saya melihat seseorang yang dimaksud atau peserta yang menggunakan warna pakaian tertentu, saya menjadi tidak suka dengan apa yang dia nyanyikan. Padahal mungkin kalau didengar nyanyiannya bagus. Thin slicing tidak bisa dilakukan pada keadaan subyektif seperti itu.

Buku ini menuai banyak kritikan dari para ahli:
Richard Posner argues that Gladwell in Blink fails to follow his own recommendations regarding thin-slicing, and makes a variety of unsupported assumptions and mistakes in his characterizations of the evidence for his thesis.

Steven Sailer juga mengkritik tentang hal ini:

  1. Lanjutkan dengan reaksi, apabila hal tersebut benar (ya kalau benar, kenapa tidak?).

  2. Seandainya reaksi yang dilakukan adalah reaksi yang benar, jangan lakukan apabila secara politis hal tersebut tidak benar (masalah solitik atau politik mas?).


Baca bukunya deh...

5 komentar:

stwn mengatakan...

baru baca bukunya ya :p

Dino mengatakan...

Saya belum pernah baca bukunya, tapi dari keterangan wahyu tadi kok malah saya menangkapnya adalah buku yang menjelaskan mengenai insting manusia. Thin slicing tadi kok saya pikir-pikir mirip sama insting. Semakin kita tua dan berpengalaman, kita juga akan semakin pintar mengambil keputusan karena semakin tahu bagian slicing mana yang perlu diambil untuk mengambil keputusan. Sementara orang-orang yang masih muda kemampuannya kurang untuk memilih slicing yang tepat dalam rangka menuju pengambilan keputusan, jadinya semakin susah untuk mendasarkan diri pada thin slicing tadi. Menurut saya, orang yang masih pengalamannya kurang, data menjadi tempat bersandar. ini hanya pemikiran aja, dari orang yang belum baca bukunya, tapi sepertinya cukup menarik.

Wahyu Juga mengatakan...

saya juga wahyu
situs saya www.pamerankomputer.com

muniz mengatakan...

cool

Indra mengatakan...

Terus terang belum baca bukunya. Namun, kelihatannya 'Blink' mencoba menjelaskan kekuatan intuisi atau insting manusia. Terlepas dari subyektif atau tidak, kekuatan ini diperlukan pada [terutama] kondisi yang kritis, darurat dan perlu penanganan 'within split second'.

Para Flight Attendant melatih insting untuk membuka pintu darurat tanpa harus berfikir sedetik pun dengan cara review satu menit (One minute silent review) saat duduk di kursi menjelang take off dan landing.

Karena belum baca, saya tidak tahu seperti apa argumen Malcolm menyangkut bertindak tanpa berfikir, hasil dari kekuatan "Thinking without thinking", namun saya setuju bahwa hal ini diperlukan justru tidak pada kondisi subjektif yang dapat dihindari seperti ditulis di blog ini. Thin slicing, blink atau immediate action dibutuhkan pada kondisi-kondisi yang darurat dan sangat kritis. Berhasil tidaknya tindakan tersebut bermuara dari seberapa dalam intuisi atau insting dilatih dan dikembangkan.

Posting Komentar